Penulis : H. Edy Murpik
Ketua DPD KWRI Provinsi Banten
KETIKA membicarakan sejarah kolonial Belanda di Indonesia, nama Eduard Douwes Dekker atau yang lebih dikenal dengan nama pena Multatuli tidak bisa dipisahkan. Karyanya yang paling terkenal, Max Havelaar, menjadi saksi penting tentang praktik penindasan yang terjadi di bawah rezim kolonial, terutama di wilayah Lebak, Banten.
Nama Multatuli di Kota Rangkasbitung, diabadikan untuk sebuah nama jalan. Multatuli juga menjadi nama museum, Museum Multatuli. Dan nama Multatuli juga dijadikan event tahunan Pemerintah Kabupaten Lebak memalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lebak, Banten, dengan nama Festival Seni Multatuli (FSM).
Festival Seni Multatuli (FSM), menjadi ajang unjuk bakat seni sekaligus pameran produk UMKM lokal. Dengan menghadirkan berbagai grup kesenian dari seluruh wilayah Kabupaten Lebak dan sekitarnya, festival ini tak hanya memperkaya budaya lokal, tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi kreatif masyarakat.
Dalam konteks sejarah, Multatuli—yang berarti “Aku yang menderita”—menjadi tokoh penting karena keberaniannya mengungkap ketidakadilan yang dialami masyarakat pribumi di bawah penindasan kolonial. Sebagai Asisten Residen di Lebak pada tahun 1856-1857, Multatuli menyaksikan langsung bagaimana rakyat menderita akibat sistem tanam paksa (cultuurstelsel) dan penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa lokal.
Namun, di balik popularitas novel tersebut, terdapat sebuah kontroversi yang muncul akibat tulisan kritis berjudul Hikayat Lebak karya sejarawan Belanda, Rob Nieuwenhuys. Tulisan ini memberikan perspektif berbeda tentang apa yang sebenarnya terjadi di Lebak dan menantang klaim-klaim Multatuli dalam Max Havelaar.
Pada tahun 1856, Eduard Douwes Dekker diangkat sebagai Asisten Residen di Lebak, sebuah wilayah yang pada masa itu berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Tugasnya adalah mengawasi jalannya administrasi pemerintahan kolonial di daerah tersebut. Sebagai pejabat pemerintah, ia seharusnya menjaga stabilitas dan kepentingan kolonial. Namun, ketika bertugas di Lebak, Dekker menemukan bahwa masyarakat setempat menderita akibat sistem tanam paksa (cultuurstelsel) dan penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa lokal.
Dekker menyaksikan bagaimana bupati Lebak, Raden Adipati Karta Natanagara, memeras rakyatnya dengan mewajibkan mereka untuk bekerja di luar kewajiban yang seharusnya. Para petani dipaksa menyerahkan sebagian besar hasil panen mereka kepada pemerintah kolonial dan pejabat setempat. Kondisi inilah yang menggerakkan hati Dekker untuk melaporkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Duymaer van Twist. Namun justeru Dekker dipecat sebagai asisten residen di Lebak. Dekker bertugas pada Januari hingga April 1856.
Ditengah kegundahan hatinya, Dekker dengan memakan nama pena Multatuli (aku yang menderita) kemudian menulis Max Havelaar, sebuah novel yang ia harapkan bisa menggugah perhatian masyarakat Eropa dan pemerintah Belanda terhadap ketidakadilan yang terjadi di Nusantara.
Dalam novel tersebut, tokoh utama bernama Max Havelaar berfungsi sebagai alter ego Dekker. Havelaar, seperti Dekker, adalah seorang pejabat kolonial yang menyaksikan penindasan terhadap rakyat pribumi dan berusaha mengungkapkan kebenaran meskipun harus berhadapan dengan risiko pribadi. Max Havelaar menjadi kritik tajam terhadap sistem pemerintahan kolonial yang korup dan tidak manusiawi.
Lebih dari satu abad setelah terbitnya Max Havelaar, seorang sejarawan dan penulis Belanda bernama Rob Nieuwenhuys menerbitkan sebuah esai berjudul Hikayat Lebak. Dalam tulisan ini, Nieuwenhuys mencoba untuk meninjau ulang peristiwa yang terjadi di Lebak selama masa jabatan Dekker sebagai Asisten Residen. Menurutnya, ada beberapa aspek yang mungkin dilebih-lebihkan oleh Dekker dalam novel Max Havelaar, dan ia menuduh bahwa Dekker memandang situasi di Lebak dengan sudut pandang yang sangat subjektif.
Rob Nieuwenhuys dalam Hikayat Lebak mempertanyakan klaim Dekker tentang tindakan penindasan yang dilakukan oleh bupati dan pejabat setempat. Menurut Nieuwenhuys, bupati Raden Adipati Karta Natanagara sebenarnya tidak seburuk yang digambarkan dalam novel Max Havelaar.
Ia berpendapat bahwa Dekker, sebagai pejabat baru di Lebak, mungkin tidak memahami sepenuhnya konteks sosial dan budaya di daerah tersebut. Beberapa tindakan yang menurut Dekker merupakan bentuk penindasan, menurut Nieuwenhuys, mungkin merupakan praktik adat yang sudah lama berlaku dan tidak serta-merta bisa dianggap sebagai tindakan yang menindas.
Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natagara atau Regen Sepuh di masyarakat Lebak ketika itu, sebagai sosok pemimpin yang merakyat dan di segani.
Nieuwenhuys juga menyoroti bahwa Dekker sendiri hanya bertugas di Lebak dalam waktu yang relatif singkat—sekitar tiga bulan—sebelum akhirnya mengundurkan diri karena ketidakpuasan dengan sistem yang ada. Dengan demikian, menurut Nieuwenhuys, pengalaman Dekker di Lebak mungkin terlalu terbatas untuk memberikan penilaian yang adil terhadap situasi sebenarnya. Ia mengkritik Dekker karena terlalu cepat membuat kesimpulan dan tidak mencoba untuk memahami lebih dalam mengenai kebijakan lokal yang mungkin sudah ada sebelum masa kolonial.
Perbedaan pandangan antara Multatuli melalui Max Havelaar dan Rob Nieuwenhuys melalui Hikayat Lebak mencerminkan perbedaan dalam cara pandang terhadap sejarah kolonialisme. Di satu sisi, Dekker memposisikan dirinya sebagai seorang idealis yang ingin mengungkap ketidakadilan dan membela rakyat pribumi yang tertindas. Max Havelaar adalah bentuk protes sosial yang kuat, yang bertujuan untuk mengubah pandangan masyarakat Eropa terhadap kolonialisme.
Di sisi lain, Nieuwenhuys melihat situasi dari perspektif yang lebih akademis dan skeptis. Sebagai sejarawan, ia berusaha untuk memberikan gambaran yang lebih obyektif dan terukur tentang apa yang sebenarnya terjadi. Ia menganggap bahwa Dekker mungkin terlalu emosional dalam menghadapi situasi di Lebak dan gagal untuk mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi tindakan bupati dan pejabat setempat.
Meski demikian, baik Max Havelaar maupun Hikayat Lebak memiliki kontribusi penting dalam kajian sejarah kolonial Indonesia. Dekker berhasil menarik perhatian dunia internasional terhadap praktik buruk kolonialisme, sementara Nieuwenhuys, memberikan perspektif berimbang dan mendorong untuk lebih kritis dalam menilai sejarah.
Meskipun terdapat kontroversi terkait kebenaran di balik Max Havelaar, tak dapat dipungkiri bahwa novel ini telah memberikan dampak besar bagi sejarah Indonesia dan Belanda. Max Havelaar berhasil memicu perdebatan di Eropa tentang sistem kolonial, dan beberapa sejarawan berpendapat bahwa novel ini berperan dalam mempercepat reformasi kebijakan kolonial Belanda di Hindia Belanda.
Di sisi lain, Hikayat Lebak mengajarkan sejarah selalu memiliki banyak sudut pandang. Apa yang terlihat sebagai kebenaran bagi satu orang mungkin dipandang berbeda oleh orang lain. Perbedaan pandangan antara Dekker dan Nieuwenhuys menunjukkan bahwa interpretasi sejarah tidak pernah sepenuhnya objektif. Sejarawan dan penulis selalu dipengaruhi oleh pengalaman, nilai, dan sudut pandang mereka sendiri.
Kritik Multatuli terhadap penindasan dan penyalahgunaan kekuasaan tetap relevan hingga saat ini. Meskipun Indonesia telah merdeka, kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan penindasan dalam berbagai bentuk masih sering terjadi. Multatuli melalui Max Havelaar mengajarkan pentingnya keberanian untuk mengungkap ketidakadilan, tidak peduli seberapa kuat sistem yang dihadapi.