Penulis: Jacob Ereste
Kepemimpinan spiritual itu adalah seorang pemimpin yang memiliki sikap dan sifat serta kemampuan memimpin bangsa untuk bersanding dengan pemimpin dari berbagai negara lain yang memegang etik profetik — tuntunan Nabi — yang diutus oleh Tuhan dari langit, seperti Nabi Muhammad SAW yang mendapat perintah dalam peristiwa Isra dan Mi’raj bolak balik dari bumi ke langit ketujuh.
Peristiwa Isra dan Mi’raj itu pun adalah peristiwa spiritual yang luar biasa, sehingga sulit untuk dapat dijangkau oleh akal, kecuali jeyakinan dan kepercayaan selevel mu’jizat yang hanya diperoleh para Nabi, seperti kemampuan membelah laut, berbicara dengan binatang dan menempuh perjalanan jauh dari dunia ke lapis langit yang ketujuh — hingga kembali lagi ke bumi dalam satu malam.
Padahal, dalam ilmu matematis, jarak dari bumi ke langit ke tujuh itu hanya mungkin ditempuh dengan kecepatan cahaya dalam waktu tahunan lamanya.
Kecepatan perjalanan atau kemu’jizatan para Nabi itu, sekaligus membuktikan kejumawahan kaum intelektual yang tidak perlu pongah, karena keterbatasan manusia sejenius apapun sesungguhnya tetap sangat terbatas untuk disandingkan dengan kemampuan serta kekuasaan Tuhan.
Apalagi hanya untuk seorang pemimpin — seperti Fir’un yang congkak dan sombong — pasti akan kelimpungan menghadapi Nabi Musa yang juga menjadi kekasih Allah. Karena itu, kepemimpinan spiritual yang diidealkan GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) hingga perlu membuat Posko Negarawan agar para tokoh pemimpin bangsa dan pemimpin negara dapat lahir dan mempersakti diri guna menjadi pemimpin Indonesia hari ini dan seterusnya untuk dapat memenangkan peradaban, setidaknya seperti yang pernah dicapai oleh suku bangsa Nusantara yang kemudian menyatakan kebersamaan bersatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti adanya sekarang.
Oleh karena itu untuk menelisik ketangguhan dan kejayaan bangsa Nusantara — yang kini telah menjadi Indonesia — kata Sri Eko Sriyanto Galgendu patut ditilik lebih jauh sebelum Indonesia merdeka. Karena ada sejumlah tokoh kaliber dunia seperti Tjut Nya’ Dhien sebagai Panglima Perang, Malahayati selaku Laksanana Perang Angkatan Laut hingga Maha Patih Gajah Mada serta keampuhan para Empu pembuat keris maupun perancang Candi Borobudur serta komplek Candi Muara Takus, adalah bukti nyata dari keunggulan suku bangsa Nusantara pada masanya dahulu.
Sehingga dengan kekayaan budaya serta karya sastra yang tidak dimiliki oleh bangsa lain di dunia seperti Ila Galigo serta perahu Finisi, serta kekayaan budaya dan alam yang dianugrakan oleh Tuhan bisa menjadi daya dorong gerakan kebangkitan spiritual yang hanya mungkin bangkit dari Timur.
Konsep sosok seorang pemipin yang memiliki dasar spritual yang mumpuni bisa ditilik dari segenap prilaku yang tercermin dalam sikap dan sifatnya Kesatriya, Wisnu, Brahmana dan Syiwa.
Dalam konsepsi pra modern semangatnya adalah, jika di depan bisa menjadi pemimpin, bila ditengah dapat memberi ide, gagasan, saat berada dibelakang mampu menjadi daya dukung dan pendorong gerakan.
Masalahnya bagi kaum pergerakan Indonesia hari ini yang kesengsem ingin bangkit dari keterpurukan jadi seperi sedang melakukan balap karung.
Semua ingin didepan, tak ada yang bersedia berada di posisi tengah, apalagi di bekakang.
Jadi tradisi balap karung dalam gerakan kaum pergerakan tampak masih menjadi salah satu hambatan utama dalam kebersamaan untuk meraih sukses dari capaian yang sama menginginkan perubahan menuju perbaikan dalam tata kelola negara dan bangsa yang telah mencapai puncak kecemaskan yang amat sangat mengkhawatirkan.
Akibat rasa percaya diri yang berlebih dan abai pada sikap serta sifat ugahari untuk mendengar dan menerima masukan maupun pendapat orang lain yang selalu kalah lantang dan kalah heroik mengurai jalan terbaik untuk menjadi pilihan bersama, hingga kemudian dapat dijadikan cara bersama, tanpa perlu diklaim sebagai gagasan pribadi yang dianggap lebih unggul dari ide dan pemikiran orang lain.