Penulis : Uce Saepudin
Alumnus FISIP Unma Banten
PEMEKARAN Kabupaten Cilangkahan sudah hampir 20 tahun diperjuangkan oleh wadah Badan Koordinasi Pembentukan Kabupaten Cilangkahan (Bakor PKC). 10 Kecamatan yang berada di wilayah Lebak Selatan atau wilayah Banten Kidul ingin berpisah dari Kabupaten Lebak.
Bukan tanpa alasan, selain karena akses pelayanan pemerintah daerah yang dirasakan terlalu jauh dari Lebak bagian selatan ke Rangkasbitung yang berada di wilayah Lebak Utara, Lebak Selatan berdasarkan hasil kajian dari STPDN dan Untirta sudah mumpuni dan layak untuk dimekarkan menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Cilangkahan.
Secara garis besar, inilah yang penulis serap dari aspirasi masyarakat Lebak Selatan dan seluruh elemen masyarakat baik tokoh berbagai unsur maupun aktivis. Penulis tidak akan panjang lebar memaparkan sejarah dan rangkaian belasan atau puluhan tahun ke belakang, namun ingin lebih kepada tataran pandangan beberapa aspek kendala yang dirangkum dari hasil diskusi maupun obrolan ringan dengan pegiat perjuangan, simpatisan, tokoh maupun masyarakat.
Penulis ingin membagi menjadi 3 dimensi perspektif mengenai kendala pemekaran Kabupaten Cilangkahan yang belum terwujud. Aspek tersebut meliputi:
Aspek Formal
Aspek Non Formal
Aspek Ghaib
Jangan heran juga, aspek ke-3 yang tidak kalah seru, penulis ingin sampaikan karena hal tersebut masih melekat dan identik dengan wilayah Banten.
1. Aspek Formal
Seperti dijelaskan sebelumnya, penulis menilai secara aspek formal, Pemekaran Kabupaten Cilangkahan ini sudah memenuhi syarat sesuai hasil kajian Perguruan Tinggi dan Universitas. Selain itu, beberapa prosedur pun sudah ditempuh menurut pengurus Bakor PKC, persetujuan dari Pemerintahan Daerah Kabupaten Lebak, Pemerintahan Provinsi Banten, dan DPD RI sudah menyetujui Kabupaten Cilangkahan menjadi daerah otonomi baru atau dimekarkan.
Bahkan DOB Kabupaten Cilangkahan sudah mengantongi legal standing sesuai dengan Ampres Nomor: R-13/Pres/02/2014.
Namun aspek formal ini tersangkut atau tersandera dengan adanya Moratorium Pemekaran Wilayah pada masa Presiden SBY. Sehingga moratorium ini menjadi kendala utama.
Perlu dicatat juga, meskipun hal tersebut merupakan kendala, namun beberapa wilayah di Indonesia ada yang dimekarkan tanpa pencabutan moratorium. Jadi, menurut penulis, Kabupaten Cilangkahan ini bisa saja terwujud tanpa pencabutan moratorium, asalkan direstui oleh orang nomor satu di Indonesia.
2. Aspek Non Formal
Aspek non formal atau yang biasa dikenal dengan istilah non teknis di lapangan adalah wilayah non prosedural. Untuk aspek ini, beberapa politisi mengatakan perlu adanya biaya untuk memperlancar legislasi di tatanan DPR RI dan pihak terkait lainnya. Biaya ini merupakan pelicin kepada para oknum pihak terkait yang mempunyai kewenangan dan kebijakan agar diperlancar tanpa kendala. Informasi ini berasal dari beberapa orang yang berbagi dengan penulis, yang berpengalaman dalam dunia politik dan lapangan. Contohnya ada isu harus ada biaya yang dikeluarkan untuk para oknum di Komisi II DPR RI, seperti Baleg dan Banggar DPR RI, Kemendagri, dan pihak lainnya. Simpelnya disebut 3L: Lobi, Link, dan Leleueur (Pelicin).
Selain itu, perjuangan non prosedural juga dapat dilakukan dengan menyampaikan pendapat di muka umum melalui unjuk rasa atau demonstrasi. Hal ini biasa dilakukan jika upaya prosedural sudah dilaksanakan namun tidak ada kejelasan keputusan, solusi, atau titik temu. Informasi yang diterima, jalan melalui demonstrasi ini sudah dilaksanakan oleh Bakor PKC bersama seluruh elemen masyarakat di Istana Negara dan Gedung DPR RI pada 31 Juli 2024 lalu.
3. Aspek Ghaib
Aspek ghaib atau karuhun ini kental di sebagian warga Banten, termasuk wilayah Kabupaten Lebak yang merupakan daerah Banten Selatan. Meskipun sebagian warga Banten kaum intelektual, akademisi, dan lainnya ada yang tidak mempercayai dan mulai luntur terkait kepercayaan ini, namun sebagian masih kuat dan mempertahankan tradisi turun temurun yang memang di luar nalar dan logika.
Di aspek ini, dari yang penulis amati, sebagian orang mempercayai bahwa Kabupaten Cilangkahan ini sudah diceritakan oleh Tetua, Karuhun, atau secara ghaib. Bahkan, Kabupaten Cilangkahan ini menurut versi ini nantinya akan menjadi suatu daerah kabupaten bungsu. Kedua, dipastikan Kabupaten Cilangkahan ini akan terwujud, namun syaratnya para kasepuhan atau pemilik wilayah yang ada di wilayah Cilangkahan dan seluruh elemen masyarakat bersatu.
Yang perlu digarisbawahi, perkataan Tetua/Karuhun/Kaolotan atau informasi ghaib ini biasanya merupakan siloka atau ungkapan yang perlu dikupas lagi artinya, bukan diterima secara mentah, karena bukan merupakan informasi yang terbuka atau gamblang secara terang benderang menyatakan sesuatu kejadian atau peristiwa. Biasanya, ada suatu ciri-ciri tertentu yang dikatakan sebelum peristiwa yang dimaksud terjadi.
Selain itu, izin maupun restu dari Tetua tiap-tiap wilayah yang ada di Lebak Selatan pun diperlukan agar Kabupaten Cilangkahan segera terwujud. Meskipun penulis tidak terlalu dalam menelusuri aspek ini, ada satu ungkapan yang terngiang, “Kegeh geus wanci namah jadi ieuh ceng” (Nanti juga kalau sudah waktunya akan jadi nak).
Belum lagi ungkapan lainnya, dan beberapa hasil diskusi yang penulis ingin sampaikan. Namun memang aspek ini sedikit sulit untuk dijelaskan, hehe.
Kesimpulan
Kesimpulannya, dari ketiga aspek tersebut, jika kita warga Lebak Selatan, mungkin ada gambaran kendala apa sehingga terasa sulit untuk mewujudkan Kabupaten Cilangkahan. Tentunya dengan meresapi aspek dan kendala tersebut, semoga bermanfaat dan semoga bisa segera terwujud.
Di akhir artikel ini, informasi terakhir yang penulis terima dari narasumber mengatakan bahwa Kabupaten Cilangkahan akan terwujud di tahun 2027 dengan asumsi masa persiapan kabupaten selama 3 tahun, sehingga tahun 2030 terbentuk. Wallahu alam bishawab.