Damai Hari Lubis
Ketua Aliansi Anak Bangsa
Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Sejak awal Majelis Hakim seharusnya terhadap objek gugatan dari Partai Rakyat Adil Makmur atau Prima, layaknya mengetahui, bahwa perkara a quo incasu adalah bukan kompetensi pengadilan negeri. Melainkan kompetensi absolut dari PTUN/ Pengadilan Tata Usaha Negara dan atau Mahkamah Konstitusi bahkan mesti melibatkan lembaga Legislatif DPR RI dan MPR RI.
Untuk itu Majelis Hakim dalam perkara a quo in casu seharusnya menolak gugatan dengan vonis N.O. (Nietonvanklijk Verklaard) atau menolak oleh sebab; “objek perkara bukan kompetensi pengadilan Negeri Jakarta Pusat“.
Sehingga masyarakat hukum menilai terhadap individu – individu Hakim yang bertugas sebagai majelis hakim dalam objek perkara politik a quo in casu, terdapat kemungkinan adanya dua faktor :
1. Minim ilmu pengetahuan hukum
2. Punya niat jahat memberi dukungan politik
Adapun dasar penilaian minim ilmu dan adanya faktor niat jahat tersebut dikarenakan pengadilan negeri Jakarta Pusat, sudah melampaui kewenangan mereka untuk mengadili, oleh sebab terhadap objek gugatan terkait Kinerja KPU.
Mutatis mutandis tidak terlepas daripada peran eksekutif atau Pemerintah Negara RI. Oleh karena KPU. Hanya perangkat yang sifatnya ad hoc. Atau panitia kepanjangan dari pemerintah ad interim atau ex officio yang semestinya bertanggung jawab untuk menyelenggarakan Pemilu sesuai amanah konstitusi dasar Pasal 22 E. Dan Pasal 7 UUD. 1945. Khususnya Pasal 7 UUD. 1945. oleh sebab berakhirnya masa jabatan presiden yang menjabat selama 5 tahun sekali dan hanya dapat menjabat sebanyak 2 (dua) kali.
Selain alasan yuridis tersebut, banyak data emperis yang telah menunjukan bukti yang sudah menjadi pengetahuan umum (notoire feiten notorius), atau generally known, yang berarti setiap hal yang “sudah umum diketahui” tidak lagi perlu dibuktikan dalam pemeriksaan sidang pengadilan.
Notoite feiten ini adalah terkat pengetahuan Majelis Hakim tentang gejala – gejala perkembangan kehidupan politik terkait ide atau wacana inkonstitusional dari beberapa orang pejabat publik dan beberapa tokoh Parpol yakni, Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, Bahlil, Muhaimin, dan Soeharso Monoarfa, termasuk Binsar Luhut Panjaitan/ LBP, serta dari sosok tokoh Legislatif Bambang Soesatyo serta La Nyalla Mattaliti yang mengusulkan atau berkehendak agar pemilu 2024 diundur.
Sehingga selain wacana melanggar konstitusi, implikasi politiknya berimbas masa jabatan Presiden Jokowi diperpanjang (inkonstitusional)
Hal wacana dimaksud, sejatinya para hakim pemutus mengetahuinya dan merupakan pelanggaran hukum, maka kategori pelakunya adalah melanggar delik anslag atau makar terhadap UUD. 1945 dan selebihnya melanggar kepada sistim hirarkis perundangan – perundangan lainnya.
Dan Majelis juga sudah sepantasnya tidak minim ilmu tehnis beracara, dengan mengetahui domein yuridis objek perkara Gugatan Partai Prima merupakan kompetensi absolut dari PTUN/ Pengadilan Tata Usaha Negara dan atau Mahkamah Konstitusi, bahkan mesti melibatkan lembaga legislatif DPR RI dan MPR RI serta alasan notoire feiten.
Oleh karena beberapa dalil sebagai dasar yuridis dimaksud, Majelis Hakim semestinya mempertimbangkan secara luas akan dampak putusan terhadap keselamatan bangsa ini, bahwa vonis gugatan Partai Prima berhubungan dengan perubahan masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode, Jo. Pasal 7 UUD. 1945.
Kesimpulan yang dapat dipetik adalah, Majelis Hakim PN. Jakarta Pusat case a quo cenderung atau kuat diduga memiliki mensrea atau kehendak berbuat jahat, agar pemilu 2024 ditunda, terbukti para hakim case a quo melalui vonisnya yang inkompetensi sebagai alat “modus” dukungan terhadap kelompok yang berwacana inkonstitusional, dengan menerima dan mengabulkan gugatan dari partai prima kepada Tergugat KPU.
Walau melanggar sistim kompetensi absolut badan peradilan sesuai hukum acara perdata dan kekuasaan Kehakiman.
Atau setidak- tidaknya Para Hakim minim ilmu, atau tidak profesional, dan tidak proporsional, patut disangka telah melanggar etika profesi, sehingga putusan tidak akuntabel, tidak memenuhi unsur objektifitas dan kredibilitas.